Jumat, 03 Desember 2010

Mengibarkan Perang.

Mengibarkan Perang
Kerja keras, banting tulang: hanya bertahan hidup.
Curah keringat, simbah darah: apa semua cukup?
Anggap semua permainan, dan mengambil keuntungan.
Mereka takkan peduli dan kita terabaikan.
Mereka selalu sulitkan hidupmu.
Dan kita kan selalu, mencoba bertahan, mencoba melawan.
Siapa mendapat untung, siapa tertinggal di belakang?
Siapa yang tertawa, dan siapa yang membusuk dan meregang?
Semua peraturan ini, menguntungkan – mereka.
Mungkin saatnya kita, memberikan neraka.
Mereka selalu sulitkan hidupmu.
Dan kita kan selalu, mencoba bertahan, mencoba melawan.
Mereka selalu sulitkan hidupmu.
Dan kita kan selalu, mencoba bertahan, mencoba melawan.

Sabtu, 20 November 2010

Maaf Tuan dan Nyonya lagi keluar Kota..

Ternyata semua sama saja ya...kalian,
datang dan pergi 
tanpa permisi
tanpa ada makna dan isi

Awalnya mengumbar derita lalu 
habis-habisan menjual iba
atau hanya sekedar pura-pura menyapa 
dan menawarkan apa yang kira-kira aku suka
timbunan karung itu rela diseret paksa 
lalu satu persatu dibuka isinya
macam-macam bentuknya

mainan airmata, 
kacamata penuh luka, 
simbah darah boneka,
sepeda rodatiga kecewa,
layangan putusasa
mobil-mobilan dengan remote duka
lara bunga bakung plastik

dan aku terkesan dengan semua yang kalian bawa
terpana dan terjaga
satu persatu aku ambil
satu perdua aku beli
satu pertiga aku simpan dan
satu perempat aku jaga 
dengan seksama
aku amati betul setiap bentuk dan rasanya
aku nikmati betul setiap auranya

seperti perkelahian di bar malam tempo hari
atau pertarungan jalanan yang kerap aku jalani
hantaman kepalan
gemeretak rahang terhantam
bersama darah,keringat dan airmata
yang menetes 
lalu menguap diserap lampu merkuri warna jingga
setiap luka
sakitnya
dan perih kalian
bagiku belum berasa apa-apa

kini kalian dimana?
semua ini untuk apa dan guna?
ah ternyata kalian sama saja
sales marketing yang saban hari diuber target 
dan poin penjualan
dan selisih surplus nilai barang
ah sekarang kalian sibuk akan hal itu

besok hari kalian pasti datang lagi
membawa karung
dan menawarkan apa yang kira-kira aku suka
'maaf tuan dan nyonya lagi keluar kota..'
sambil pura-pura menjadi tukang kebun
aku telah siap dengan argumen diplomasi basa-basi

sendirian dihalaman pura-pura
menyiram dan menata tanaman
'kembali saja nanti jika tuan dan nyonyaku membutuhkan'
.........
karena saya yakin dengan pikiran kalian
'tukang kebun bukan target market yang potensial'
                                    cianjur 29, Agustus 2010

Laki-laki luka

Kota ini masih berdenyut cepat. Arteri hitamnya masih memompakan kehidupan gemerlap diantara dominasi temaram lampu merkuri. Sebagian terlelap dan sebagian memaksa untuk terjaga. Raungan knalpot, degup speaker mobil yang sengaja diset difrekwensi rendah. Jajaran cemara udang berjajar menohok lurus tepat sepanjang jalan yang menghantarkan menuju gerbang balaikota. Langitnya pekat nyaris tanpa gemerlap gemintang. Malam ini bulan seperti keju. Terpotong sabit kuning mengkilap. Angin membeku terpaku menggantung bersama sejumput awan.

“laki-laki itu...”

Dari tadi kuperhatikan dia tanpa ada patah kata, bicaranya adalah sepi. Jemarinya menari bersama pena tergenggam sempurna. Berdansa mengalir menggurat lantai kertas menuliskan sesuatu. Rambutnya sesekali diseka jika untaian itu jatuh menghalangi pandangannya. Sesekali wajahnya tengadah menatap semburat lampu. Sesekali dia bergumam...lalu penanya kembali mengalir pelan menelusuri lantai kertas lusuh. Entah lembar keberapa dia berganti halaman. Kini dia berhenti, merogoh sesuatu dari kantongnya. Sebatang rokok dinyalakan nyaris tanpa gemeretak ujung yang terbakar. Rokok dia tanpa cengkeh.

“boleh saya duduk dekat kamu?” rasa penasaran juga yang membuatku tergerak mendekat. Tidak menjawab hanya menatap mencoba membuka kontak secara visual. Dia bergeser memberi jarak pada trotoar yang mulai lembab oleh malam.

“boleh minta apinya ?” dari tatapnya sekilas tadi dia seolah menjawab “silahkan”. Tangannya menyodorkan batang rokoknya. Jemari kokoh warna tembaga. Dengan tangan kiri. Itu yang membuatku makin terkesan.

“kamu baru dikota ini ?” kuhembuskan asap lalu membias bersama pekat.

“yup...” pendek dan tegas tanpa menatap. Rokonya dihisap kembali dihembuskan berbarengan dengan hembusanku.

“lihat...asap kita saling berjumpa lalu larut bersama pekat” aku coba alihkan perhatiannya dan berhasil. Dia tersenyum. Barisan gingsul malu tersembul lalu menunduk. Kali ini pena nya diketuk-ketuk.

“apakah kedatangan saya mengganggu?” kali ini mulai terbersit khawatir.

“tidak...Sama sekali tidak”. Masih belum menatap. Matanya menerawang objek kosong seolah sedang mencoba meranmgkai bentuk dalam angannya.

“...saya hanya agak kesulitan melukiskan warna air melalui barisan kata”. Kali ini dia mulai terbuka.

“ouh...mmm...sebenarnya apa yang sedang kamu tulis?”

“saya sedang tidak menulis. Saya sedang membuat gambar dari semua kisah perjalanan saya”.

“tapi saya tidak melihat kamu sedang menggambar” dengan kerlingan mencoba mengintip.

“saya menggambar lewat huruf dan tanda baca...dan ternyata itu lebih mampu membebaskan makna sebuah objek. Kadang objek visual terlalu kabur untuk dimaknai. Saya coba buat pembatasnya dengan narasi”.

“narasi?...apakah itu mampu membebaskan sebuah objek visual?...bukankah akan selalu ada penggiringan pada makna?”

“bukankah makna itu interpretasi?” dia memotong cepat.“...dan apa yang coba saya lakukan adalah membebaskan interpretasi itu”. Nadanya masih datar. Masih tanpa menatap.

“jadi tepatnya apa yang sedang coba kamu gambarkan?”. Pertanyaanku diulang dengan subjek yang berbeda.

“saya sedang menggambarkan ombak, karang, kepting yang berlarian, buih yang meresap dipasir hangat dan aroma garam”.

“hmmm....bukankah terasa aneh kamu mencoba gambarkan semua keindahan itu ditengah hiruk pikuk kota ini?”. Batang rokok kubuang ketengah jalan. Jatuh menggelinding lalu baranya terlepas dan padam.

“saya menyukai kontradiksi...lagipula semua yang kugambarkan bukanlah mencoba memaknai keindahan....saya sedang menggambarkan tragedi!”. Airmukanya langsung berubah. Nadanya dipenuhi getar tertahan ketika kalimat terakhir itu terucap. Kami berdua terdiam. Hening total ditengah hiruk dan pekak suasana malam. Gambar-gambar yang tersaji didepan bergerak cepat lalu lalang oleh semburat cahaya anek warna. Kami hening dan beku oleh diam.

“boleh kulihat gambarmu?”. Kali ini aku penasaran.

“belum saatnya. Saya masih mencoba merangkai ingatan lalu tentang hidup dan perjalanan saya. Semuanya belum sempurna. Seperti juga hidup yang harus disempurnakan oleh kematian. Gambar ini belum mampu saya bunuh...”. Terdiam kembali bersama hening. Hening yang makin mencekam. Pena nya berhenti diketuk-ketuk.

“...lalu dengan alasan apa kamu mendekat kearahku?”. Dia menutup catatannya dan menyalakan rokok kembali.

“penasaran aja...laki-laki tengah pagi buta duduk sendirian ditengah hingar bingar. Menulis...eemmm..maksudku menggambar dengan kata-kata”. Aku tersenyum menganulir kalimatku.

“betina...kenapa kalian selalu penasaran dengan kesendirian?”. Dia menatapku dengan kedua bola mata yang hening mencekam. Lekat menelanku.

“mmm...boleh saya menulis sesuatu?...maksudku benar-benar menulis. Bisa pinjam pena dan buku catatan kamu?”. Maksudnya sekedar mengalihkan pandangan dia tapi akhirnya saya ikut terpancing juga dengan apa yang tadi dia lakukan. Dia sodorkan pena dan buku catatannya lalu kakinya selonjor menggurat aspal.

Sudut trotoar ramai aneka bentuk rupa
warna aroma menambah semarak malam
wangi nasi goreng diperempatan
aroma muntahan abege yang mengutuk dunia
lalu lalang hiruk pikuk pekat malam
bangunan tua pohon rindang
sepotong bulan rasa keju


dimanakah aku kini?
Kenapa mereka tak menyapaku?
bahkan sekedar senyuman?
Dimanakah kamu?
Aku berharap pada pelukan lalu
berpagut erat disudut temaram gedung tua itu.


Sial...kenapa aku berharap?
Keberadaanku disini memang tak diharapkan
lihat...tak ada serpihan segenggam rindu yang ditabur sepanjang jalan yang kulewati

aku datang karena mengikuti hasrat
tak sempat lagi mengenali siap diri ini
seperti bayi seperti langit cerah tanpa awan seperti udara

kehadiranku keberadaanku
tanpa harap apa-apa
disini...tanpa siapa-siapa
menggambar jejak memaknai kesendirian
menjadi arti...

“aku beri judul “menggambar asa”. Nih untuk kamu!”. Aku sodorkan kembali pena dan buku catatannya. Dia berdiri lalu memasukan barang tadi kedalam backpack hitam 35liter. Segera dibebankan dipunggungnya, menyibak rambutnya lalu menyalamiku dengan cepat.

“saya harus pergi...menuju selatan keujung daratan. Terimakasih atas obrolannya”. Melepaskan genggamannya lalu berbalik memberiku punggung sebagai tanda dia memang harus pergi menjauh. Berjalan pelan membelah dinihari.

Dari badannya tak ada kulit yang terkoyak atau rembesan darah dari kaos putihnya. Tapi gesture itu berbicara banyak hal. Yang kubaca saya tahu dia sedang terluka. Dari intonasi suara dan keengananya bertatap saya tahu dia sedang dibebani duka. Laki-laki luka.

Subuh itu saya ingin bersenandung bersama Jhonny Cash diperempatan jalan tepat ketika tubuh itu menghilang,

"...everyone i know goes away in the end..."

Disela perjalanan Ujunggenteng, Pelabuhanratu, Citarik dan Sukabumi-
26 September 2010, 03:42:35 dinihari-